Minggu, 27 Februari 2011

Emma Goldman dan Mereka yang Manggut-manggut

EMMA Goldman memang luar biasa. Buah pikirannya menyebutkan bahwa pernikahan bukanlah manifestasi dari cinta, karena cinta dengan kokoh punya akar serta pondasinya sendiri, dan bahwa pernikahan, dengan selusin tuntutannya, adalah tanaman rambat yang bisa memakan habis pagar pondasi cinta itu sendiri.
Buku Emma kemudian menginspirasi banyak orang untuk tidak menikah. Tentu saja itu bukan urusan saya. Tapi ketika mereka-mereka para fans Emma mulai menghakimi, bahkan menertawakan, keputusan saya untuk menikah, tentu saja saya balik tertawa sambil berpikir, “Well,... sekarang ini jadi urusan saya."
Dalam bukunya, Emma Goldman tidak pernah memberikan sedosis stok solusi apa yang harus dilakukan ketika seorang anak kecil mogok sekolah karena guru dan teman-temannya rajin memanggilnya dengan julukan "anak di luar nikah", hanya karena kedua orang tuanya tidak memiliki surat nikah. Emma pun tidak memberi tahu bagaimana menangani psikologi anak tersebut yang kemudian tumbuh dengan rasa percaya diri yang minim karena pengucilan di sekolah dan lingkungan tempat ia serta orang tuanya tinggal. Pengurusan akta lahir pun tentunya mengalami kesulitan, karena para pegawai negeri di kantor catatan sipil biasanya senang berlaku sebagai polisi moral.
Dan, lagi-lagi, Emma juga tidak menyediakan jalan keluar kalau tiba-tiba pasangan yang tidak menikah itu tertimpa sial digerebek warga lalu digiring (moga-moga tidak dalam keadaan telanjang ya…) ke rumah Pak RT. Saya sejujurnya sangat tidak setuju dengan perilaku warga yang tak jauh berbeda dengan para pegawai negeri catatan sipil itu. Namun, bukankah Emma seharusnya menyediakan berbagai solusi bila buah pikirannya itu ternyata menemui masalah-masalah sejenis ini? Dengan hanya menuliskan pendapat dan prinsipnya tentang pernikahan dan cinta, tanpa menawarkan jalan keluar berupa pintu rahasia atau jalur bawah tanah untuk menyelamatkan diri dari masyarakat kita yang bermental “Tuhan” serta masalah-masalah yang mereka ikut sertakan…, Emma Goldman yang cerdas itu terlihat sedikit ompong di mata saya kini, karena dia tidak menyelesaikan dengan baik apa yang sebelumnya telah ia mulai.
Ngomong-ngomong, sayalah si anak yang mogok sekolah itu. Ibu dan ayah saya yang mantan “penggemar Emma” pun baru menikah saat saya berusia remaja. Namun, peresmian itu tidak lantas bisa membalut koreng di hati dan horor masa sekolah saya. Dengan jelas sejelas-jelasnya saya mengalami apa yang disebut 'tidak menikah' itu. Dan saya bukanlah orang yang ingin merasa paling tahu. Saya hanya tahu sebuah konsekuensi yang ditanggung seorang anak. Saya pun tak pernah menghakimi teman-teman saya yang memutuskan untuk tidak menikah. Jadi, saya bingung kenapa mereka menjadi punya hobi ketok palu seperti orang-orang di persidangan saat mendengar saya akan menikah? Saya tutup mulut. Itulah totalitas saya dalam apa yang kalian sebut menghargai pembebasan kalian seutuh-utuhnya. Saya menolak menghakimi karena saya tidak ingin kemudian dihakimi. Dan ya, saya memang jadi agak judes kalau ada yang coba-coba melemparkan molotov penghakiman.
George Bernard Shaw, konon dalam kata pengantar buat lakonnya tentang Joan d'Arc yang dihukum bakar karena dianggap tukang sihir, mengatakan bahwa manusia abad ini sebenarnya lebih bertakhayul ketimbang orang Abad Pertengahan. Bukankah kebanyakan orang cuma percaya begitu saja bahwa bumi berbentuk bulat, tanpa pernah bisa mengajukan alasannya sendiri untuk menopang pernyataan itu?
Betapa sering kita pada akhirnya hanya bisa bersandar pada pendapat para ahli. Kian majemuk suatu cabang ilmu, kian bengong pula kita di hadapannya. Lalu kita pun jadi makmum, di belakang, mengikut. Kita mengamini ketika para ahli mengatakan ada energi di korona matahari, ada DNA di dalam sel-sel tubuh kita, dan ada cadangan devisa di suatu tempat. Kita bahkan percaya bahwa Gadjah Mada berwajah tembem, seperti yang diputuskan Muhammad Yamin.
Sebagian besar pengetahuan kita agaknya memang berada di tingkat itu: tidak berdasar pada penalaran ataupun eksperimen, melainkan, seperti dikatakan Orwell, pada otoritas. Dan, ketika segala gelar disebut dan stempel keahlian sudah diterakan, ilmu pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda. Semakin besar pengetahuan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekkan, mendustai. Kemudian, semua orang menurut, manggut-manggut.
***

ps: Tahukah kalian, seorang Emma Goldman pernah berpacaran selama 10 tahun, kemudian putus di tengah jalan saat akan menikah? Beberapa bulan kemudian, terbitlah bukunya yang amat terkenal itu. Nah, masih berpendapat bahwa dia menulis buku tersebut karena latar belakang faktual yang fungsional, ataukah persepsi seorang gadis yang dilanda patah hati?


Ditulis oleh : Regina
Diterjemahkan komunitas merah hitam

1 komentar:

  1. Pendapat Emma Goldman benar, loe jalani aja hidup loe dalam pilihan loe, tp jangan hina Emma Goldman, dia ingin agar wanita itu mandiri seutuhnya dan mengerti tentang kedaulatan hidupnya.... Loe harus berterima kasih kepada Emma Goldman karena dia berani memperjuangkan hak - hak wanita

    BalasHapus