Minggu, 27 Februari 2011

Bekerja dan Menghujat

“Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di muka bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka yang mewarisi bumi.” (Q S. 28:5)

SEORANG yang sudah lama tertindas seringkali tidak akan kuat untuk melawan, terus menjadi lemah dan mati. Namun tidak bagi proletariat, pada saat mereka semakin kehilangan kemanusiaannya akibat eksploitasi kapitalis, kesadaran kelas mereka pun semakin terbentuk kokoh. Semangat juang mereka juga tak akan terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri untuk mati, mereka akan memberontak. Dominasi kapitalisme industri akan membawa buruh sebagai kelas menuju pada kesadaran massal akan eksistensinya untuk segera bersepakat dan mengorganisasikan diri ke dalam serikat-serikat buruh. Mereka akan sadar dengan sendirinya, di tengah persaingan para pemodal yang niscaya akan terus menekan upah dan imbalan kerja agar mereka dapat bertahan dalam arena kompetisi yang semakin meruncing, maka kaum buruh akan dibuat semakin melarat. Akhirnya, kaum buruh tidak dapat membeli lagi kebutuhan pokoknya serta segala yang mereka butuhkan untuk bisa bekerja. Mereka akan semakin sadar bahwa mereka merupakan satu kelas senasib sepenanggungan dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka. Mereka adalah kuli bangunan, tukang las, pekerja pabrik, pelaut, pegawai kantoran, petani garam, dan lain-lain, yaitu mereka-mereka yang terlibat langsung dalam aktivitas produksi kapitalis. Daya juang mereka semakin terlatih. Musuh mereka bukan lagi sang pemilik pabrik ataupun tuan tanah, melainkan kapitalis sebagai kelas. Borjuasi telah memproduksi penggali kuburnya sendiri. Inilah perang kelas. tapi, semua itu tidak dapat dengan mudah terbentuk. rupanya bedug perang kelas itu perlu ditunda sejenak, kenyataan dalam dunia kerja tidaklah se-revolusioener itu. saya melihat musuh kita bukan hanya kapitalis sebagai pemilik modal. melainkan kawan-kawan kita sendiri, seperti apa yang saya lihat, masih sangat banyak buruh-buruh disekitar kita yang merasa berkecukupan, terikat dengan begitu banyak tanggungjawab pribadi, mempunyai relasi yang cukup baik dengan atasan sehingga mereka menjadi malas, takut, atau bahkan sama sekali tidak bersepakat dengan segala bentuk perjuangan buruh. entah apa nama yang yang cocok untuk golongan seperti ini. mereka juga buruh upahan, mereka juga terlibat langsung dalam aktifitas produksi kapitalis, mereka juga korban, mereka juga luka-luka. tapi tidak pernah berusaha atau tidak tertarik untuk mengobatinya. permasalahan-permasalahan ini adalah sebuah alasan yang seharusnya mengapa serikat-serikat atau organisasi-organisai buruh yang semakin menjamur itu dibentuk.

Di sini saya hendak mencoba mengkritisi agenda-agenda serikat-serikat buruh di Indonesia yang pernah saya ketahui, dan mungkin memang begitu adanya, yaitu tentang terfokusnya agenda-agenda tersebut hanya pada bagaimana memperbaiki kondisi kerja, memperjuangkan upah layak, mendefinisikan dan mengurangi standar kerja mingguan, dan menghalangi para pengusaha untuk dapat memecat dan mempekerjakan buruh sesuka hati. Saya mulai ragu, karena serikat-serikat buruh di Indonesia dewasa ini, dalam perspektif sempit saya, hanya menjadi pawang kebuasan singa kapitalisme. mengapa begitu, Mereka hanya menjadi seperti wasit dalam pertandingan sepakbola, mereka tidak menjadi mitra juang buruh sebagaimana yang diharapkan. Mereka tidak menyelenggarakan ‘tempat didik’, dimana serikat-serikat buruh itu merubah proletariat menjadi kelas militan revolusioner, melainkan hanya bersikap netral dan menjaga komunikasi yang “saling menguntungkan” antar-kelas. Sungguh ironis, saya adalah mantan pekerja upahan di sebuah pabrik di Surabaya yang memproduksi velg mobil, dimana di dalamnya terdapat serikat buruh independen yang diharapkan menjadi malaikat Jibril bagi para pekerja, tapi kenyataannya " tanggal 1 Mei tetap masuk seperti biasa " Tidak ada hal spesial pada Hari Buruh se-Dunia yang punya sejarah dramatis itu. begitu juga para pekerja yang masih dalam masa training, selama 6 bulan mereka tidak mendapatkan gaji dan hanya mendapatkan uang makan sejumlah 50% dari uang makan pekerja tetap setiap harinya yaitu sebesar Rp. 5.000 dan tidak mudah untuk dapat mejadi pekerja tetap disana, mereka para pekerja training ini juga dibebani dengan kewajiban membayar sejumlah uang kepada perusahaan dengan alasan untuk melengkapi administrasi dan tetek bengeknya. Belum lagi banyak kejanggalan lainnya.

juga di tempat kerja pacar saya, di sebuah bank yang mengaku menerapkan sistem syari’ah Islam di Jakarta Barat. Pacar saya mengatakan bahwa di tempat kerjanya terdapat serikat buruh yang bernama Syarikat Pejuang. Dia juga mengatakan bahwa pihak manajemen bank itu menggunakan jasa outsourcing, dan pacar saya ikut berpartisipasi menjadi “produk jual-beli” mereka. Pernah dia dan beberapa temannya mencoba mengkomunikasikan kepada serikat buruh yang berwenang tentang uang tunjangan di luar gaji pokok yang telah dijanjikan oleh pemimpin bank tersebut namun tak kunjung keluar. Mereka meminta pengurus serikat (pejuang) buruh tersebut untuk mengusahakannya, tapi apa yang dikatakan oleh serikat (pejuang) buruh itu? “Anda adalah karyawan outsourcing, kami tidak memiliki wewenang atas karyawan outsourcing.” Tidak ada tawa atau kesedihan di wajah pacar saya dan temen-temannya itu. Yang ada hanya sebuah dilema: tetap bekerja di bank itu dengan segala kecurangan yang ada, atau pergi dengan mengganti uang penalti yang jumlahnya sangat tidak realistis.

Adalah kebencian yang mendalam akan eksistensi serikat-serikat buruh semacam ini; tidak ada organisasi ataupun lembaga yang mampu memperjuangkan kemerdekaan buruh seutuhnya. Mungkin inilah kritik paling mendasar para anarkis-individualis untuk membentangkan antipatinya terhadap segala macam organisasi ataupun lembaga yang mengatasnamakan keadilan sosial. Memang merupakan hal yang sangat sulit untuk membuat para kamerad anarkis-individualis kembali percaya bahwa tanpa perjuangan terorganisir, revolusi hanya akan menjadi sebuah kata tanpa makna. Bayangkan, 10.000 orang anarkis yang terorganisir dalam komite-komite pabrik berbasis swakelola di Rusia pasca-Revolusi Februari, gerakan Makhnovis di Ukraina dan pemberontakan Kronstadt dapat dengan mudah dihancurkan oleh para kontra-revolusi, hingga matinya gerakan anti-otoritarian pada 1920. Sejarah ini seharusnya dapat dijadikan pelajaran, pengalaman sangat pahit yang jangan sampai terulang kembali. Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk arah perjuangan yang selaras dalam sebuah organisasi yang akan memadukan aktivitas revolusioner efektif dengan prinsip-prinsip anarkis yang fundamental, misalnya dengan membentuk serikat-serikat pekerja yang menetapkan edukasi emansipasi buruh dalam agendanya, menempatkan beberapa aktivisnya di tempat-tempat produksi untuk merangsang diskusi pada jam-jam istirahat, dan berbagai aktivitas lainnya yang mendorong pencerahan kaum buruh.

Ringkasnya adalah wahana dimana proletariat dapat menemukan pencerahan setelah terjadi banyak kecurangan terhadapnya. Sebuah revolusi yang destruktif atas sistem lama yang kapitalistik, sebuah revolusi yang bermimpi untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat tanpa kelas, tatanan masyarakat dimana setiap individu ikut ambil bagian dalam kerja-kerja produktif untuk kebutuhan komunal, suatu masyarakat dimana semua orang bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan sesuai kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar