Minggu, 27 Februari 2011

Apakah ‘Platform’ Itu dan apa yang ia tawarkan bagi kaum anarkis masa kini

Kaum anarkis selalu berpikir tentang bagaimanakah masyarakat itu dan bisa jadi seperti apakah masyarakat itu. Kita berjuang menuju cita-cita sebuah masyarakat yang bebas dan demokratis. Kita tahu bahwa, untuk bisa sampai ke sana, akan perlu kiranya menghancurkan sistem otoriter pemerintahan di masa kini. Perjuangan kita untuk kebebasan melontarkan banyak bidang kontroversi dan perdebatan. Salah satu di antaranya selama ini—dan akan selalu—adalah bagaimana kita mencapai sebuah revolusi? Bagaimana kita berorganisasi untuk perubahan? Satu kontribusi penting bagi perdebatan ini adalah The Organisational Platform for a General Union of Anarchists (dalam bentuk draf) (yang juga dikenal sebagai Organisational Platform of the Libertarian Communists), sebuah dokumen yang ditulis pada tahun 1926 oleh sekelompok anarkis Rusia dan Ukraina yang berada di pengasingan, dan merupakan dokumen yang masih menawarkan banyak hal bagi perdebatan masa kini seputar persoalan organisasi.

Para penulisnya turut berperan dalam revolusi Rusia dan memandang bahwa semua kerja, harapan dan impian mereka telah gagal karena negara Bolshevik otoriter telah berjaya dan menghancurkan kekuasaan pekerja yang sesungguhnya. Mereka menulis pamflet ini untuk meneliti mengapa gerakan anarkis gagal mengembangkan keberhasilan komite-komite pabrik, dimana para buruh yang berorganisasi dalam angkatan-angkatan kerjanya sendiri mulai membangun sebuah masyarakat yang didasarkan atas kebebasan dan kesetaraan. Pada paragraf pertama mereka menyatakan:

“Sangat signifikan kiranya bahwa, kendati ide-ide libertarian itu kuat dan memiliki karakter yang positif tiada tanding, dan kendati berada dalam keadaan menjelang revolusi sosial, dan akhirnya heroisme serta pengorbanan tak terhitung banyaknya yang ditanggung oleh kaum anarkis dalam perjuangan untuk mewujudkan komunisme anarkis, gerakan anarkis tetap lemah kendati ada berbagai hal, dan sering sekali muncul dalam sejarah perjuangan kelas pekerja hanya sebagai peristiwa kecil, suatu episode, dan bukan sebagai faktor penting.”

Ini adalah materi yang kuat, sebuah seruan kebangkitan bagi gerakan anarkis. Ini adalah seruan yang masih perlu kita dengarkan. Kendati sebenarnya hampir semua aliran sayap kiri lainnya telah runtuh, anarkisme masih belum berada dalam posisi yang kuat. Meski organisasi-organisasi Trotskyis telah menguap ke udara, menyusut drastis ukurannya, ataupun berubah menjadi demokrasi sosial, namun adalah fakta yang menyedihkan bahwa, jika esok terjadi sebuah revolusi, mereka masih akan berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal argumen-argumen mereka akan terdengar dan didengarkan ketimbang posisi kita. Fakta ini saja seharusnya sudah cukup untuk membuat kita berpikir sejenak. Kita tidak bisa hanya berpuas diri dan bertumpu pada harapan bahwa kelak kekuatan nyata dan kebenaran ide-ide kita akan bersinar terang dan memenangi hari. Dunia dimana kita hidup ini adalah hasil dari perjuangan ide-ide yang saling bertarung mengenai bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Jika suara anarkis lemah dan senyap, ia tak akan terdengar, dan argumen-argumen lain, perspektif-perspektif lainlah yang akan memenangi hari.

Bukanlah maksud saya di sini untuk mengupas Platform tersebut secara mendalam. Platform ini tak pernah dimaksudkan untuk menyediakan segala jawaban. Di bagian pendahuluannya, mereka menegaskan hal ini:

“Kami tak ragu lagi bahwa memang terdapat kesenjangan-kesenjangan dalam platform ini. Platform ini mengandung kesenjangan, sebagaimana juga semua langkah praktis baru yang memiliki arti penting apapun. Mungkinlah kiranya bahwa posisi-posisi penting tertentu telah hilang, atau bahwa posisi-posisi lain diperlakukan secara tidak memadai, atau bahwa posisi-posisi yang lain itu juga terlalu rinci ataupun berulang.”

Bagaimanapun, diharapkan bahwa platform ini akan menjadi awal suatu perdebatan tentang bagaimana para anarkis dapat melepaskan diri dari kemandegan yang kini mereka alami. Di sini saya akan mencermati beberapa prinsip mendasar dari dokumen ini, khususnya masalah-masalah yang mereka identifikasi dalam organisasi-organisasi anarkis, yang mereka uraikan sebagai berikut:

“Di semua negeri, gerakan anarkis diadvokasikan oleh oleh beberapa organisasi lokal yang mengkampanyekan teori-teori dan praktek-praktek yang bertentangan, yang tidak menghasilkan perspektif apapun untuk masa depan, juga tidak menghasilkan kesinambungan apapun dalam hal gerak militan, dan biasanya lenyap dengan nyaris tak meninggalkan jejak sedikit pun di belakangnya.” (penekanan dari saya).

Solusi mereka adalah penciptaan tipe tertentu organisasi anarkis. Pertama, anggota organisasi-organisasi ini memiliki kesepakatan teoritis satu sama lain. Kedua, mereka bersepakat bahwa jika tipe kerja tertentu diprioritaskan, semua anggota harus ambil bagian. Bahkan sampai sekarang pun di dalam gerakan anarkis, ini adalah ide-ide yang kontroversial, sehingga cukup berharga kiranya untuk mengeksplorasi ide-ide ini dengan sedikit lebih terperinci.

Asumsi dasar Platform ini ialah bahwa ada suatu tautan antara koherensi dan efisiensi. Orang-orang yang menentang Platform berpendapat bahwa tidak ada tautan seperti itu. Bagi mereka, efisiensi tidak ada hubungannya dengan seberapa koheren sebuah organisasi, melainkan ini lebih merupakan suatu fungsi ukuran besar. Posisi ini berpendapat bahwa Platform tersebut, dalam pencariannya akan kesepakatan teoritis, mengucilkan mereka yang tidak memilik kesepakatan mutlak, dan dengan demikian akan selalu lebih kecil daripada sebuah organisasi yang lebih longgar. Karena ukuran besar itu lebih penting daripada teori, praktis organisasi-organisasi ini tidak akan begitu efektif. Perdebatan ini membawa kita ke pusat salah satu perdebatan paling penting di dalam anarkisme. Bagaimana suatu perubahan revolusioner masyarakat terjadi? Apa yang bisa dilakukan para anarkis untuk membantu dalam proses mewujudkan perubahan seperti itu?

Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang terorganisir. Otoritasnya dipromosikan oleh banyak suara, termasuk partai-partai politik parlementer, media dan sistem pendidikan (untuk menyebut sedikit contoh di antaranya). Sebuah revolusi yang berhasil bergantung pada penolakan terhadap suara-suara itu oleh mayoritas orang di dalam masyarakat. Bukan hanya kita harus menolak kapitalisme, tapi kita juga perlu mempunyai visi tentang sebuah masyarakat alternatif. Yang dibutuhkan adalah suatu pemahaman bahwa kapitalisme harus ditaklukkan, dan juga bahwa kapitalisme bisa digantikan. Untuk sebuah revolusi anarkis, harus ada pengakuan bahwa kita sendirilah yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menciptakan dunia baru itu.

Peran organisasi anarkis adalah menyebarkan ide-ide ini. Bukan hanya kita perlu menyoroti aspek-aspek yang negatif dan merugikan dari kapitalisme (yang, bagaimanapun bagi banyak kalangan tampak nyata), tetapi kita juga perlu merumuskan penjelasan-penjelasan tentang bagaimana sistem ini bekerja. Inilah yang dimaksud dengan teori, yang secara sederhana merupakan jawaban atas pertanyaan ‘mengapa berbagai hal itu seperti itu apa adanya?’ Dan kita perlu melakukan satu hal lagi: kita perlu menerjemahkan teori kita ke dalam praktek, pemahaman kita tentang bagaimana berbagai hal berjalan akan menentukan karakter bagaimana kita berjuang.

Kembali ke Platform, masalah pokok dengan organisasi-organisasi anarkis seiring mereka ada ialah, mereka bukan hanya tak mampu mengembangkan pendekatan seperti itu, tetapi juga bahkan tak memandangnya sebagai hal yang perlu. Karena tidak ada kesepakatan tentang isu-isu teoritis, mereka tidak bisa memberikan jawaban-jawaban kepada kelas pekerja. Mereka bisa bersepakat bahwa penindasan terhadap perempuan itu salah, namun tidak bisa menjelaskan mengapa kaum perempuan tertindas. Mereka bisa bersepakat bahwa Perang Dunia Pertama akan menyebabkan kematian dan kehancuran, namun tidak bersepakat mengapa perang itu terjadi. Kesepakatan seperti itu penting, karena tanpa itu, kerjasama tentang aktivitas, kesepakatan tentang apa yang akan dilakukan, agaknya tak mungkin terjadi. Beginilah bagaimana para penulis Platform menggambarkan organisasi seperti itu

“Organisasi seperti itu, setelah menggabungkan elemen-elemen teori dan praktek yang beragam, hanya akan menjadi sebuah kumpulan mekanis individu-individu yang masing-masing memiliki konsepsi berbeda tentang segala persoalan seputar gerakan anarkis, sebuah kumpulan yang tak terhindarkan lagi akan tercerai-berai begitu menjumpai realitas” (penekanan dari saya).

Dengan istilah ‘kumpulan mekanis individu-individu’, yang mereka maksud adalah sekelompok individu yang bertemu bersama, namun tidak bersatu baik dalam pikiran ataupun tindakan. Hal ini menggerogoti keseluruhan makna organisasi, yakni memaksimalkan kekuatan individu-individu melalui kerjasama dengan individu-individu lain. Bila tidak ada kesepakatan, maka hanya bisa terjadi sedikit kerjasama. Tidak adanya kerjasama ini menjadi lebih jelas lagi ketika kelompok tersebut didesak untuk bersikap atas suatu isu tertentu, sebuah peristiwa tertentu di dunia yang lebih luas. Di titik ini, dua hal terjadi. Pertama, bisa jadi individu-individu di dalam kelompok tersebut bertindak atas penafsiran mereka sendiri tentang peristiwa-peristiwa tersendiri, hal mana memunculkan pertanyaan, lantas apa gunanya berada dalam organisasi seperti itu? Atau, bisa jadi kelompok tersebut memutuskan untuk mengabaikan peristiwa itu sama sekali, sehingga mencegah timbulnya perselisihan pendapat. Hal ini mengakibatkan beberapa efek samping yang patut disayangkan bagi politik anarkis. Yang paling serius, ini berarti bahwa penafsiran anarkis tentang berbagai peristiwa tetap tak akan terdengar, karena tak peduli seberapa pun besarnya organisasi, jika semua individu di dalamnya berbicara dengan suara-suara berbeda, maka kerancuan yang diakibatkannya hanya akan menghasilkan pesan anarkis yang lemah dan tidak jelas. Organisasi seperti itu bisa menerbitkan sebuah koran mingguan, namun setiap edisinya akan mengemukakan sudut pandang yang berbeda, karena penulis yang membuatnya juga berganti. Ide-ide kita tidak akan meyakinkan, karena kita sendiri tidak yakin akan ide tersebut. Efek samping kedua ialah bahwa ide-ide kita tidak akan berkembang dan tumbuh secara mendalam dan kompleks, karena ide-ide tersebut tak akan pernah ditantang oleh mereka yang berada di dalam organisasi kita sendiri. Hanya dengan berupaya mencapai kesepakatan, dengan bertukar konsepsi-konsepsi yang saling bertarung tentang masyarakat, barulah kiranya kita akan dipaksa untuk mempertimbangkan semua alternatif. Karena tidak ada tantangan, maka ide-ide kita akan stagnan.

Tanpa kesepakatan tentang apa yang harus dilakukan, organisasi anarkis tetap tak lebih dari hanya sekumpulan individu. Anggota-anggota organisasi itu tidak memandang diri mereka memiliki suatu identitas kolektif. Sering sekali umur kelompok-kelompok seperti itu tergantung pada umur individu-individu yang paling aktif. Tidak ada peka-rasa untuk membangun sebuah badan kerja yang akan merentang sampai ke masa depan. Mengingat bahwa di masa-masa ini, revolusi adalah satu prospek jangka panjang, maka perencanaan jangka pendek seperti itu hanyalah buang-buang tenaga dan upaya yang tragis.

Sering kali pengalaman para anarkis ialah bahwa mereka adalah para aktivis yang penuh semangat dan berkomitmen, namun mereka gagal menyampaikan kepada publik tautan antara kerja yang mereka lakukan dan ide-ide yang mereka yakini. Satu contoh dari hal ini adalah Kampanye anti-Poll Tax[1] yang berhasil di Inggris, Skotlandia dan Wales. Meski banyak anarkis terlibat sangat aktif dalam perjuangan menentang pajak yang tidak adil ini, namun ketika kemenangan akhirnya diraih, para anarkis tidak muncul setelah peristiwa itu dalam posisi yang kuat, sebagaimana yang mungkin diharapkan. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri mengapa terjadi hal seperti ini.

Tampaknya ini adalah karena para anarkis mengkonsentrasikan upayanya pada argumen-argumen yang menentang pajak, dan mengesampingkan argumen-argumen yang mendukung anarkisme. Lebih jauh lagi, meski banyak yang bergerak secara individu, namun mereka tidak bisa menunjukkan suatu peka-rasa bahwa mereka adalah bagian dari gerakan yang lebih besar. Mereka dipandang sebagai orang-orang yang hebat, hanya itu. Berbeda jauh dengan itu, kendati ukuran organisasi WSM sangat kecil saat sebuah kampanye serupa (yakni, Kampanye anti-Pajak Air) berakhir, namun kami berhasil menaikkan profil anarkisme di Irlandia. Kami menekankan bahwa penentangan kami terhadap pajak yang tidak adil terkait dengan penentangan kami terhadap masyarakat yang tidak adil serta terkait dengan keyakinan kami bahwa masyarakat yang lebih baik itu mungkin.

Kembali kepada persoalan efisiensi dan ukuran besar, organisasi-organisasi dalam tradisi ‘Platform’ bersepakat bahwa ukuran besar itu penting, dan mereka semua berupaya untuk tumbuh membesar agar bisa mencapai posisi yang penting di dalam masyarakat. Namun demikian, mereka menekankan bahwa semua kualitas positif dari perihal menjadi bagian organisasi yang besar, meningkatnya gerak yang bisa dilakukan, meningkatnya potensi manusia yang bisa dihimpun, akan tergerogoti jika organisasi seperti itu tak punya arahan. Poinnya ialah, ini bukanlah persoalan untuk memilih antara ukuran besar ataukah koherensi, melainkan bahwa kita hendaknya menuju kepada keduanya.

Arti penting Platform ialah bahwa ia menyoroti secara jelas masalah-masalah berat yang disebabkan oleh sifat tak terorganisir dari organisasi-organisasi anarkis yang berbasis longgar. Platform memaparkan sebuah masalah, ia menyoroti seberapa fatal kelemahan ini bisa terjadi dalam anarkisme, ia menekankan urgensi masalah tersebut yang harus kita hadapi dan mengharuskan kita untuk berusaha memberikan jawaban.

***

[1] Pajak yang dikenakan oleh negara atas setiap individu warga negara sebagai syarat untuk mendapatkan hak suara (hak pilih)



Pertama kali diterbitkan dalam Red & Black Revolution
- jurnal Workers Solidarity Movement di Irlandia.

Lihat www.wsm.ie

Untuk perdebatan lebih lanjut tentang Platform, lihat
anarchistplatform.wordpress.com
Anda bisa mengunduh copy dari ‘The Organisational Platform for a General Union of Anarchists (Draft)’ dan copy-copy selanjutnya dari pamflet ini di:

www.z a b a l a z a . n e t

Lucio, Si Bandit Budiman: Refleksi Seorang Anarkis

BLAK-BLAKAN dan kharismatik, Lucio bicara layaknya seorang anarkis sejati. Bila ditanya apa maknanya menjadi seorang anarkis, Lucio menolak anggapan keliru tentang anarkis sebagai teroris, “Anarkis adalah seorang yang baik di hatinya, seorang yang bertanggung jawab.” Namun, dia tidak berapologi sedikitpun tentang kebutuhan untuk menghancurkan tatanan sosial yang kini berlangsung, “baguslah kiranya menghancurkan hal-hal tertentu, karena itu berarti kamu membangun hal-hal baru untuk menggantikannya.”

Lucio punya teman-teman lama di Southern Cone[1]. Dana dari para pekerja pemalsuan membantu ratusan orang dari organisasi-organisasi revolusioner yang sedang berada di pengasingan dan membiayai aksi-aki bawah tanah untuk melawan kediktatoran-kediktatoran bengis yang telah melenyapkan puluhan ribu aktivis, mahasiswa dan pekerja sepanjang 1970-an di seluruh Amerika Latin. Di Uruguay, dana dari cek-cek perjalanan Citibank yang dipalsukan mendanai kelompok gerilyawan Tupamaros, juga mendanai Black Panthers di Amerika Serikat dan kelompok-kelompok revolusioner lainnya di seluruh Eropa.

Selama kunjungannya baru-baru ini ke Amerika Selatan, Lucio menginap di Hotel BAUEN yang dikelola oleh para pekerja di ibu kota Argentina, Buenos Aires. Dia takjub melihat kecakapan para pekerja tanpa majikan itu. Di Hotel BAUEN, para pekerja mempraktekkan autogestíon atau swakelola. Swakelola telah menjadi arus utama pemikiran anarkis sejak kelahiran kapitalisme. Bukan hubungan otoritas-kepatuhan antara kapitalis dan pekerja, sebaliknya swakelola justru menyiratkan bahwa pekerja mempraktekkan sebuah sistem egaliter dimana orang-orang secara bersama memutuskan, menghasilkan dan mengontrol nasibnya sendiri demi kemanfaatan komunitas. Tapi agar sistem seperti itu bisa berjalan, para pesertanya haruslah gigih bekerja dan bertanggung jawab, salah satu ciri paling penting yang menurut Lucio hendaknya dimiliki seorang lelaki ataupun perempuan. “Gerakan anarkis dibangun oleh pekerja. Tanpa kerja, kita tak bisa bicara tentang swakelola. Untuk mempraktekkan swakelola, kita perlu mengetahui bagaimana melakukan berbagai hal, bagaimana bekerja. Kalau hanya menjadi bohemian, itu mudah.”

Lucio menjelaskan bahwa anarkismenya bersumber dari masa kanak-kanaknya yang miskin di Spanyol pada masa kekuasaan fasis. “Asal-usul anarkis-ku berakar pada pengalamanku tumbuh besar di dalam sebuah keluarga miskin. Ayahku adalah seorang kiri, dipenjara karena dia menginginkan otonomi untuk negeri Basque. Bagiku, itu bukanlah revolusi, aku bukan seorang nasionalis. Dengan nasionalisme, umat manusia telah melakukan banyak kesalahan. Setelah keluar dari penjara, ayahku menjadi seorang sosialis. Kami sangat menderita. Aku sering pergi mencari roti dan tukang roti tidak mau memberikannya kepadaku, karena kami tidak punya uang. Bagiku, kemiskinan telah menyuburkanku, aku tidak perlu susah-susah berusaha untuk bisa kehilangan rasa hormatku kepada kemapanan, Gereja, properti pribadi dan Negara.”

Di Spanyol, fasisme mampu bertahan sampai 30 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ratusan orang dipenjarakan karena melawan kediktatoran Franco. Para antropolog memperkirakan bahwa dari awal Perang Sipil Spanyol pada Juli 1936 sampai matinya Franco pada November 1975, kaum Nasionalis Franco membunuh sekitar 75.000 sampai 150.000 orang pendukung Republik itu.

Lucio melarikan diri ke Perancis, dimana dia menemukan anarkisme. Dia disersi dari ketentaraan nasionalis dan lari ke Perancis. Paris pada tahun 1960-an merupakan kota yang subur bagi para intelektual, pengorganisir dan gerilyawan anarkis yang berada di pengasingan. Di sanalah Lucio bertemu dengan anggota-anggota serikat buruh anarko-sindikalis Confederación Nacional de Trabajo (CNT). Dia pun ingin sekali bergabung dengan CNT.

Selama tahun-tahun awalnya di Perancis, Lucio bertemu dengan Francisco Sabate, seorang anarkis legendaris dan gerilyawan yang luarbiasa. Di masa ini, Sabate, yang juga dikenal dengan nama panggilan “El Quico”, merupakan anarkis yang paling dicari-cari oleh rezim Franco. Polisi Perancis juga mencari-cari Sabate, yang memimpin perlawanan terhadap Franquismo. “Saat bertemu Quico, aku sedang tergabung dalam Juventud Libertarias. Mereka bertanya apakah aku bisa membantu Sabate. Bayangkan, aku, orang yang tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak tahu siapa itu Quico.” Sabate menggunakan rumah Lucio sebagai tempat persembunyian. Lucio muda mendengarkan cerita-cerita Sabate tentang aksi langsung dan menyerap kearifan apapun yang bisa disampaikan oleh Sabate, misalnya tentang cara-cara untuk mengendus adanya penyusup. “Aku bertemu dengan para gerilyawan yang membawaku ke jalan menuju aksi langsung dan pengambil-alihan. Sabate mengajariku untuk tidak menghormati properti pribadi.”

Ketika itulah Lucio mulai ikut serta dalam perampokan-perampokan bank. “Tak ada bajingan yang lebih besar daripada bank,” kata Lucio saat membela pengambil-alihan. “[Inilah] satu-satunya cara yang dipunyai anarkis, tanpa dana dari industri dan tanpa ada wakil-wakil pemerintahan yang membiayai mereka. Uang itu dikirimkan kepada orang-orang yang menderita akibat tindakan rezim Franco.” Organisasi mahasiswa dan organisasi buruh mendapatkan dana itu untuk melakukan pengorganisiran akar rumput. Pada contoh lain, uang itu digunakan untuk aksi-aksi langsung gerilya melawan rezim Franco, misalnya kampanye untuk pembebasan tahanan politik di penjara-penjara nasionalis.

Untuk menyelamatkan hidup orang-orang yang berada di pengasingan, Lucio memikirkan sebuah rencana besar untuk memalsukan paspor agar warga Spanyol bisa bepergian. “Paspor untuk pengungsi berarti bisa melarikan diri ke luar negeri da menjalani hidup yang aman di tempat lain,” jelas Lucio. Bukan hanya di Eropa, tapi juga di AS dan Amerika Selatan, para pembangkang menggunakan kartu identitas palsu untuk menjalani hidupnya dan melakukan aksi-aksi langsung.

Pada tahun 1977, kelompok Lucio mulai memalsukan cek sebagai bentuk langsung untuk membiayai gerakan perlawanan. Secara esensial, Lucio adalah “bos” dari operasi ini – dia membuat, membagikan dan mencairkan cek-cek itu. Cek lebih sulit dipalsukan daripada uang kertas. Lucio berpikir bahwa mereka harus mentarget lembaga perbankan terbesar di dunia, National City Bank. Distribusi cek-cek tersebut mengalir ke berbagai kelompok subversif yang menggunakan dana itu untuk membiayai aksi-aksi solidaritas. Lucio menjelaskan bahwa “tak seorang pun yang menjadi kaya” karena cek-cek itu. Sebagian besar dana itu digunakan untuk tujuan aksi solidaritas. Di seluruh Eropa, cek-cek dengan nomor kode yang sama ini dicairkan pada waktu yang sama.

Rancangan besar Lucio ini merugikan City Bank sejumlah puluhan juta dolar akibat cek-cek perjalanan palsu. Tapi banyak yang mengatakan bahwa jumlah yang jauh lebih besar telah diambil-alih. City Bank tak berdaya menghadapi pemalsu, yang telah merugikan begitu besar hingga bank ini terpaksa menangguhkan cek-cek perjalanan, yang berarti menggagalkan liburan bagi ribuan wisatawan. Pada masa itu, orang belum menggunakan kartu cek ataupun kartu kredit. Lucio ditangkap pada tahun 1980 dan didapati membawa sebuah tas koper yang penuh dengan cek palsu. Sementara itu, selama penahanan Lucio, Citibank terus mendapat cek-cek perjalanan palsu.

Citbank menjadi khawatir. Wakil-wakil dari bank itu setuju untuk berunding. Lucio akan dilepas jika dia menyerahkan plat-plat master untuk mencetak cek-cek palsu tersebut. Pertukaran pun terjadi, dan Lucio menjadi seorang legenda karena rancangan cemerlangnya itu. Meski hidupnya sebagai pemalsu dokumen berakhir pada usia 50, namun hidupnya sebagai seorang anarkis terus berlanjut.

Lucio selalu bekerja sebagai tukang batu. “Yang paling membantuku adalah pekerjaanku. Anarkis selalu adalah pekerja.” Lucio – si tukang batu, anarkis, pemalsu dokumen dan pengambil-alih – telah meninggalkan warisan seperti halnya para pendahulunya. “Orang-orang seperti Loise Michel, Sabate, Durruti, semua pengambil-alih itu mengajariku bagaimana mengambil-alih, namun bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan bagaimana menggunakan kekayaan itu untuk perubahan.” Pada usia 76 tahun, dia tidak meminta maaf atas aksi-aksinya. “Aku telah melakukan pengambil-alihan, yang mana menurut agama Kristen adalah perbuatan dosa. Bagiku, pengambil-alihan itu perlu. Sebagaimana yang dikatakan oleh para revolusioner, merampok dan mengambil-alih adalah tindakan revolusioner asalkan kita tidak mengeruk keuntungan dari tindakan itu.”

-oo0oo-



Marie Trigona adalah seorang penulis, produser radio dan pembuat film yang berbasis di Argentina. Lucio adalah salah satu orang paling mengagumkan yang pernah dia temui dalam pengalamannya mewawancarai orang-orang. Marie dapat dihubungi di alamat mtrigona@msn.com.

-oo0oo-



http://en.wikipedia.org/wiki/Lucio_Urtubia



Lucio Urtubia Jiménez (lahir pada tahun 1931 di Cascante, Navarre[1]) adalah seorang anarkis Spanyol yang terkenal akan praktek pengambil-alihan politis-nya. Terkadang disejajarkan dengan Robin Hood,[1] Urtubia melakukan perampokan bank dan pemalsuan dokumen sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an. Mengutip kata-kata Albert Boadella, “Lucio adalah seorang Quijote yang tidak bertarung melawan kincir angin, melainkan melawan raksasa yang sesungguhnya.”





Biografi



Lucio Urtubia lahir di Cascante, merupakan anak kelima di sebuah keluarga yang sangat miskin. Ayahnya, seorang Carlist[2], dipenjarakan dan, saat di dalam penjara, mengalami peralihan ke komunisme.

Direkrut ke dinas militer, Urtubia dan kawan-kawannya membobol sebuah gudang milik kompinya, lalu disersi dan melarikan diri ke Perancis pada tahun 1954. Di Paris dia mulai bekerja sebagai tukang batu, pekerjaan yang terus dia lakukan sepanjang hidupnya. Selain itu, dia jadi terlibat dengan kalangan Libertarian Muda dari Fédération Anarchiste dan berteman dengan André Breton dan Albert Camus.

Tak lama setelah pindah ke Paris, Urtubia diminta untuk menyembunyikan di rumahnya seorang anggota Maquis, kelompok gerilyawan Spanyol yang melawan Franco dari pengasingan. Pengungsi itu ternyata adalah Francesc Sabaté Llopart yang legendaris. Sabaté tinggal bersama Urtubia selama beberapa tahun sampai kematiannya.

Sabaté memandu keluarga-keluarga dan kaum libertarian yang berada di pengasingan di Toulouse, Perpignan dan Paris serta anggota-anggota CNT Spanyol tua di Barcelona, Saragossa, Madrid dan Pamplona. Sebelum pemenjaraan Sabaté menghentikan aktivitas-aktivitas ini, Urtubia mulai meniru serangan-serangan yang biasa dilakukan Sabaté ke wilayah Spanyol. Kemudian dia melakukan serangkaian perampokan dan penodongan untuk mencari dana untuk kepentingan revolusioner. Dalam melakukan itu semua, dia selalu ditemani senapan mesin Thompson-nya yang tak terpisahkan yang dia warisi setelah kematian Sabaté.

Pada saat ini, pemalsuan dokumen oleh Urtubia telah dimulai dan tak seorang pun gerilyawan atau orang dalam pengasingan yang meninggalkan dia tanpa membawa dokumen palsu. Dia bergabung dengan kawan-kawan libertarian lainnya untuk memalsukan mata uang pada tahun 1960-an. Dengan strategi ini, mereka membiayai banyak kelompok sambil berupaya menggoncang ekonomi kapitalis. Dengan aktivitas-aktivitas ini, di tengah memanasnya gejolak akibat invasi ke Teluk Babi, Urtubia mengusulkan kepada Simeón Rose, duta besar Kuba di Perancis, untuk menghancurkan kepentingan-kepentingan Amerika di Perancis dengan menggunakan bahan peledak. Namun, tawaran ini ditolak. Kemudian dia mempresentasikan kepada Ernesto Che Guevara, Menteri Dalam Negeri Kuba, sebuah rencana untuk memalsukan dolar Amerika secara besar-besaran. Usulan ini juga ditolak, dan Urtubia pun meninggalkan pertemuan itu dengan kecewa.

Pukulan telak nan cemerlang yang merubah hidupnya adalah pemalsuan cek-cek perjalanan Citibank pada tahun 1977. Tindak kriminal ini mencakup 8.000 copy dari 25 cek yang masing-masing senilai 100 dolar dan merugikan bank ini begitu parahnya hingga harga sahamnya jatuh. Uang yang dicuri ini digunakan, seperti biasanya, untuk membantu gerakan-gerakan gerilya di Amerika Latin (Tupamaros, Montoneros, dll.) dan Eropa. Kendati pemalsuan itu begitu hebat dan menghebohkan, Urtubia hanya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan berkat kesepakatan ekstrayudisial dengan Citibank yang menurunkan tuntutan-tuntutannya sebagai pertukaran dengan plat-plat pencetak cek milik Urtubia.

Hidupnya adalah petualangan terus-menerus: menjadi target lima tatanan internasional, termasuk CIA; dia merancang penculikan tokoh Nazi, Klaus Barbie, di Bolivia; berkolaborasi dalam upaya pelarian pemimpin Black Panthers; membantu upaya penculikan Javier Rupérez;menjadi perantara dalam kasus Albert Boadella; dan bekerjasama dengan Movimiento Ibérico de Liberación dan kemudian dengan Groupes d'action révolutionnaire internationalistes. Dia selalu membela pekerjaannya dengan mengatakan, “Kami adalah tukang batu, tukang cat, tukang listrik – kami tidak butuh negara untuk apapun”; “Kalau memang pengangguran dan marjinalisasi menciptakan kaum revolusioner, pastilah pemerintahan-pemerintahan itu sudah mengakhiri pengangguran dan marjinalisasi.” Urtubia terus tinggal di Paris, dan kini dia pensiun.

[1] Kelompok negara-negara di Amerika Selatan yang terdiri dari Argentina, Brazil, Chile, Paraguay dan Uruguay

[2] Pendukung Don Carlos ataupun anak keturunannya sebagai raja-raja Spanyol yang sah sepanjang abad ke-19

Emma Goldman dan Mereka yang Manggut-manggut

EMMA Goldman memang luar biasa. Buah pikirannya menyebutkan bahwa pernikahan bukanlah manifestasi dari cinta, karena cinta dengan kokoh punya akar serta pondasinya sendiri, dan bahwa pernikahan, dengan selusin tuntutannya, adalah tanaman rambat yang bisa memakan habis pagar pondasi cinta itu sendiri.
Buku Emma kemudian menginspirasi banyak orang untuk tidak menikah. Tentu saja itu bukan urusan saya. Tapi ketika mereka-mereka para fans Emma mulai menghakimi, bahkan menertawakan, keputusan saya untuk menikah, tentu saja saya balik tertawa sambil berpikir, “Well,... sekarang ini jadi urusan saya."
Dalam bukunya, Emma Goldman tidak pernah memberikan sedosis stok solusi apa yang harus dilakukan ketika seorang anak kecil mogok sekolah karena guru dan teman-temannya rajin memanggilnya dengan julukan "anak di luar nikah", hanya karena kedua orang tuanya tidak memiliki surat nikah. Emma pun tidak memberi tahu bagaimana menangani psikologi anak tersebut yang kemudian tumbuh dengan rasa percaya diri yang minim karena pengucilan di sekolah dan lingkungan tempat ia serta orang tuanya tinggal. Pengurusan akta lahir pun tentunya mengalami kesulitan, karena para pegawai negeri di kantor catatan sipil biasanya senang berlaku sebagai polisi moral.
Dan, lagi-lagi, Emma juga tidak menyediakan jalan keluar kalau tiba-tiba pasangan yang tidak menikah itu tertimpa sial digerebek warga lalu digiring (moga-moga tidak dalam keadaan telanjang ya…) ke rumah Pak RT. Saya sejujurnya sangat tidak setuju dengan perilaku warga yang tak jauh berbeda dengan para pegawai negeri catatan sipil itu. Namun, bukankah Emma seharusnya menyediakan berbagai solusi bila buah pikirannya itu ternyata menemui masalah-masalah sejenis ini? Dengan hanya menuliskan pendapat dan prinsipnya tentang pernikahan dan cinta, tanpa menawarkan jalan keluar berupa pintu rahasia atau jalur bawah tanah untuk menyelamatkan diri dari masyarakat kita yang bermental “Tuhan” serta masalah-masalah yang mereka ikut sertakan…, Emma Goldman yang cerdas itu terlihat sedikit ompong di mata saya kini, karena dia tidak menyelesaikan dengan baik apa yang sebelumnya telah ia mulai.
Ngomong-ngomong, sayalah si anak yang mogok sekolah itu. Ibu dan ayah saya yang mantan “penggemar Emma” pun baru menikah saat saya berusia remaja. Namun, peresmian itu tidak lantas bisa membalut koreng di hati dan horor masa sekolah saya. Dengan jelas sejelas-jelasnya saya mengalami apa yang disebut 'tidak menikah' itu. Dan saya bukanlah orang yang ingin merasa paling tahu. Saya hanya tahu sebuah konsekuensi yang ditanggung seorang anak. Saya pun tak pernah menghakimi teman-teman saya yang memutuskan untuk tidak menikah. Jadi, saya bingung kenapa mereka menjadi punya hobi ketok palu seperti orang-orang di persidangan saat mendengar saya akan menikah? Saya tutup mulut. Itulah totalitas saya dalam apa yang kalian sebut menghargai pembebasan kalian seutuh-utuhnya. Saya menolak menghakimi karena saya tidak ingin kemudian dihakimi. Dan ya, saya memang jadi agak judes kalau ada yang coba-coba melemparkan molotov penghakiman.
George Bernard Shaw, konon dalam kata pengantar buat lakonnya tentang Joan d'Arc yang dihukum bakar karena dianggap tukang sihir, mengatakan bahwa manusia abad ini sebenarnya lebih bertakhayul ketimbang orang Abad Pertengahan. Bukankah kebanyakan orang cuma percaya begitu saja bahwa bumi berbentuk bulat, tanpa pernah bisa mengajukan alasannya sendiri untuk menopang pernyataan itu?
Betapa sering kita pada akhirnya hanya bisa bersandar pada pendapat para ahli. Kian majemuk suatu cabang ilmu, kian bengong pula kita di hadapannya. Lalu kita pun jadi makmum, di belakang, mengikut. Kita mengamini ketika para ahli mengatakan ada energi di korona matahari, ada DNA di dalam sel-sel tubuh kita, dan ada cadangan devisa di suatu tempat. Kita bahkan percaya bahwa Gadjah Mada berwajah tembem, seperti yang diputuskan Muhammad Yamin.
Sebagian besar pengetahuan kita agaknya memang berada di tingkat itu: tidak berdasar pada penalaran ataupun eksperimen, melainkan, seperti dikatakan Orwell, pada otoritas. Dan, ketika segala gelar disebut dan stempel keahlian sudah diterakan, ilmu pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda. Semakin besar pengetahuan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekkan, mendustai. Kemudian, semua orang menurut, manggut-manggut.
***

ps: Tahukah kalian, seorang Emma Goldman pernah berpacaran selama 10 tahun, kemudian putus di tengah jalan saat akan menikah? Beberapa bulan kemudian, terbitlah bukunya yang amat terkenal itu. Nah, masih berpendapat bahwa dia menulis buku tersebut karena latar belakang faktual yang fungsional, ataukah persepsi seorang gadis yang dilanda patah hati?


Ditulis oleh : Regina
Diterjemahkan komunitas merah hitam

Dunia hari ini

Banyak diantara kita yang mengeluh dengan aktivitas harian yang itu-itu saja. bangun, kerja, tidur dan begitu seterusnya. seakan telah menjadi sebuah siklus yang tak terbantahkan dalam hidup ini. tapi apa boleh buat, dunia hari ini telah memberikan arti tersendiri pada kata pekerjaan. pekerjaan Bukan lagi seperti yang di katakan Marx bahwa manusia bekerja secara bebas dan universal atas dasar daya cipta. Pekerjaan bukan lagi sebuah objektivasi manusia yang Tercermin dari perasaan bangga ketika di hadapkan pada hasil yang telah dikerjakannya. Manusia memiliki daya cipta yang membuktikan bahwa mereka nyata. Namun dunia hari ini sangatlah berbeda, manusia tidak lagi berproduksi atas dasar objektivitas dan hukum estetika. Cukuplah apa yang telah marx katakan kita jadikan sebagai suplemen untuk memahami hakikat kita. Dunia hari ini adalah dimana manusia harus bekerja untuk dapat bertahan hidup. dimanapun kita berada kita tidak akan bisa lepas dari ketergantungan kita terhadap uang dan berjuta hasrat untuk memiliki, hasrat untuk memiliki hidup yang lebih baik dan hasrat untuk merayakan hidup. Semua itu kita dapat dengan bekerja, tapi disaat kita dihadapkan pada situasi ketika kamu telah menyerahkan diri dalam sebuah pekerjaan, dengan harapan dapat mendapatkan hidup yang lebih baik, dengan segudang totalitas dan loyalitas kerja, jam kerja, besar-kecilnya upah itu justru membuat kita tidak diberi kesempatan untuk merayakan hidup yang samasekali tidak sesuai dengan harapan-harapan kita sebelumnya. dengan bekerja kita bisa mendapatkan sejumlah uang untuk merealisasikan kesenangan-kesenangan untuk melepas kejenuhan bekerja dengan mentraktir kawan dekat, berkencan dengan kekasih, membayar kontarakan infohouse atau untuk sekedar membeli buku dari toko buku agar mendapat pengetahuan lebih. begitu banyak bentuk perayaan hidup. Namun sepertinya dunia hari ini tidak menyediakan kesenangan gratis, rupanya semua hal harus dibeli. kecuali ketika kamu mendapatkan kesenangan dalam bunga tidur mimpi indah.
dunia hari ini memang tidak ideal. dunia hari ini adalah dunia dimana kapitalisme berjaya. hukumnya adalah kompetisi. yang miskin jadi budak dan yang kaya menjadi majikan. yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. tentu ini bukan sebuah dunia yang adil bukan? tapi sekali lagi aku katakan bahwa dunia hari ini adalah dunia dimana kapitalisme Berjaya. Realitas memberitahu kita bahwa kita perlu uang untuk bertahan hidup.

Pilihlah sebuah pekerjaan,
tentu ini tidak mudah, banyak diantara kita yang mempunyai semangat kerja, melepas hari-hari keluar-masuk kantor dengan lembaran surat lamaran kerja, mereka yang terus berusaha mencari pekerjaan. Selain itu kita juga dipaksakan berkompetisi dalam hal ini. menawarkan tenaga untuk sebuah harga. dunia hari ini memang menyediakan banyak lapangan kerja, namun dunia hari juga menyediakan banyak permintaan. dunia hari ini adalah sebuah arena kompetisi. dimana setiap pesertanya harus bertarung dalam keahlian, tingkat pendidikan, dan modal. lagi-lagi kita dihadapkan pada kata modal. dinamika hidup hari ini mencipkatan sebuah fase hidup yang sangat popular dimasyarakat yaitu : modal menentukan tingkat pendidikan - pendidikan menentukan sebuah keahlian - dan keahlian adalah modal. sebagian besar masyarakat kita memang menganut fase hidup demikian. aku tidak menyebutkan bahwa fase hidup seperti itu adalah salah, aku hanya menyebutkan bahwa banyak jalan menuju roma. Pilihannya adalah mensiasati hidup sedemikian rupa untuk kemerdekan akal dan kembali pada pandangan klasik marx tentang sebuah pekerjaan yang mendasarkan diri pada hakikat kita yang berdaya-cipta. Hidup kita tidak berhenti dan kalah hanya karena kita tidak mempunyai modal nominal untuk sebuah pendidikan formal, kita tidak terpenjara dalam keadaan ekonomi yang lemah, akal tetaplah merdeka. kita tetap mempunyai kesempatan untuk memilih sebuah pekerjaan tanpa harus berkompetisi berebut lapangan kerja yang disediakan dunia hari ini. Karena memang Tak banyak diantara kita yang beruntung mendapatkan kesempatan untuk menjalani ‘ fase hidup popular’ dunia hari ini yang memang sangat kapitalistik.

“Bagaimana aku bisa mendapatkan sebuah pekerjaan yang baik sementara aku tidak mempunyai modal yang banyak diminta oleh para pemodal untuk menambah modalnya? Paling tidak aku harus mempunyai selembar ijazah sesuai permintaan, pengalaman kerja, dan sukur-sukur aku dapat memberikan sejumlah uang pada mereka untuk dapat bekerja… tapi aku tidak mempunyai semua persyaratan itu karena aku memang tidak mampu, apakah aku salah berkata demikian?”

Kita tentu tidak asing dengan kutipan kata seperti itu, karena memang begituah keadaan dunia hari ini. Mayoritas masyarakat kita telah dihadapkan dengan kondisi hidup semacam itu. tapi justru dengan kondisi hidup yang seperti itulah daya cipta terpacu kita semakin menuju nyata. Ketika kita tidak ada pilihan lain selain melawan dunia hari ini dengan mentalitas yang mantap untuk hidup mandiri, mencipta dan berimajinasi. Benar adanya hidup mandiri, mencipta, dan memilih sebuah pekerjaan dengan cara sendiri itu tak semudah aku menuliskan barisan kata-kata ini. Aku meminta maaf kepada mu kawan, karena aku tidak mempunyai pilihan lain selain mengajakmu untuk memulai sebuah perubahan bersama. Untuk dirimu, juga diriku dan semua. Mulai membebaskan cara pandang kita yang mungkin telah berlutut pada dunia hari ini yang Bergerak mengikuti segala tata-cara hidup kapitalisme . menciptalah sebuah kesempatan untuk dirimu sendiri jika kapitalisme tidak dapat memberimu kesempatan. Merdekalah akal, imajinasi dan daya-cipta!

Lalu menyiapkan sebuah senjata dari bekerja..

“ aku kumpulkan sebagian upah yang di berikan bossku atas tenaga kerjaku selama ini dengan harapan kelak aku dapat membeli sebilah parang untuk kemudian dapat aku jadikan alat ini sebagai ancaman…”

Bagi sebagian orang bekerja adalah sebuah keharusan. Sebuah hal dilematis yang sepertinya tidak bisa dipungkiri lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat pekerjaan merupakan sebuah tolok-ukur yang sangat menentukan sebuah status sosial dimana setiap orang yang mempunyai pekerjaan yang mapan dan baik akan mendapatkan tempat yang baik pula dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini yang kemudian menginspirasi banyak orang untuk dapat bekerja, punya uang banyak dan menjadi orang yang terpandang di masyarakat. dalam dunia hari ini, menurutku, mayoritas masyarakat, selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, mereka juga bekerja atas dasar mengejar status sosial. ini adalah hasrat. Ini juga sebuah mimpi dan banyak orang berjuang dan berkorban untuk harsat yang seperti ini. Serupa dengan kapitalisme, para pemodal juga bekerja untuk mengejar monopoli pasar. Berkompetisi dengan pemodal lain untuk mendapatkan tepat yang paling tinggi. Modal yang besar menentukan posisi mereka dipasar. Ini juga sebuah hasrat. Ini adalah dua hal yang sama. Kapitalisme memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku masyarakat. terutama dalam mengejar status sosialnya. Siapapun yang mempunyai tingkat konsumsi dan daya beli yang tinggi itulah yang menentukan status sosialnya. banyak sekali orientasi orang bekerja. Saya juga tidak ingin terlalu jauh menyebutkan tentang seberapa jauh pengaruh kapitalisme dalam kehidupan masyarakat kita hari ini. Karena dalam dunia hari ini kapitalisme telah tumbuh dalam segala aspek kehidupan kita. Perhatianku kembali terfokus pada emansipasi dalam sebuah pekerjaan yang kita pilih. Kita tentu sadar penuh bahwa dunia hari ini tidak memberikan kesempatan pada individu-individu yang lemah untuk dapat bertahan, setiap orang dipaksa untuk terus berkompetisi. Kembali kita dihadapkan pada pilihan, memilih menjadi pekerja yang mengamini dominasi kapitalisme sebagai sesuatu kecurangan, penghisapan, dan merangsangmu untuk berhalusinasi bahwa hidupmu hari ini tetap harus disyukuri sebagai takdir tuhan. Atau sebaliknya, kita menjadi pekerja yang tangguh dan cerdas yang mampu memahami dominasi kapitalisme hari ini adalah sebagai suatu kecurangan, penghisapan nyata, bukan kehendak tuhan dan bukan terjadi begitu saja sehingga kamu memilih untuk mengemansipasikan diri untuk melawan. Sebuah kehidupan yang lebih baik tentu harus diperjuangkan. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya hidup kita kepada kapitalisme karena kita berhak atas hidup kita sendiri. sekalipun kita terlibat langsung dalam aktifitas produksi kapitalisme sebagai pekerja. jangan biarkan tekanan, penghisapan, kecurangan kapitalis membuat semangat untuk mengemansipasikan diri kita menjadi tumpul. Sebagai implementasi bentuk-bentuk perlawanan itu dapat kamu lakukan beriringan bersama eksploitasi atas dirimu. Semakin kamu terekploitasi semakin kamu mantap semangat juangmu. Dan kamu akan kembali pada hakikatmu, sebagai manusia yang bergerak dengan intuisi, Pandai siasat, dan menemukan sebuah jalan untuk menyelamatkan diri. Kamu bekerja, kamu mendapatkan upah, kamu bertahan untuk hidup, dan itu artinya kamu mempunyai kesempatan untuk melawan. Kamu bisa mulai dengan menggunakan fasilitas kantor, pabrik atau apapun untuk mensupport aktifitas perlawanamu. Kamu juga bisa mulai bersama dengan kawan-kawanmu yang mempunyai pandangan yang sama, satu pikiran, senasib, dan sejalan untuk membangun sebuah kelompok, organisasi atau sindikat sehingga kamu dan kawan-kawan bisa secara kolektif mengumpulkan uang untuk mensupport kebutuhan produksi kelompok, organisasi atau sindikatmu untuk tetap bisa melawan melalui bentuk terbitan, membuka infohouse, taman baca, mengorganisir sebuah acara, dan apapun sebagai media perlawananmu. kapitalis memberikan kita uang atas kerja-kerja kita, dan lihatlah ini sebagai sebuah kesempatan, sebuah kesempatan untuk mengembalikan apa yang telah diberikan kapitalis pada kita menjadi sebuah senjata yang membahayakan eksistensinya. Ringkasnya adalah dari kapitalisme untuk kita, dari kita untuk keruntuhan kapitalisme!
Sadarilah bahwa dunia hari ini tidak akan berjalan tanpa kita semua rakyat pekerja! bangun kekuatan rakyat miskin! Organisasikan dirimu! Merdekalah Daya-Cipta!

Mimpi yang bermimpi

Hujan turun begitu lebat malam itu, aku meringkuk tak berdaya di atas kursi rotan didalam ruang tamu kecil ku yang tampil seadanya. berselimut selembar kain putih yang aku harapkan dapat menghangatkan tubuhku barang sejenak. Mata lelahku memandangi jam dinding yang mulai menunjukkan pukul 02.57 pagi. Aku lelah, namun pikiranku tak pernah sedikitpun merasa lelah. Banyak hal yang aku pikirkan, dan banyak hal pula yang aku rencanakan. Tidak ada suatu hal pun yang mampu membuatku tertidur, tidak untuk sebuah kamar ber-ac, tidak untuk sebuah kasur bulu, dan tidak pula obat tidur. Aku selalu terjaga.
Malam itu pikiranku serasa dibawa oleh sebuah kekuatan diluar diriku menuju sebuah bayangan dimana aku dapat melihat bermacam-macam mimpi manusia yang sedang bermimpi. Seperti sebuah komik, aku melihat seseorang tertidur dan diatasnya menggelembung gambaran aktivitas mimpinya. aku melihat kegelisahan tidur dalam mimpi buruk, tersenyum dalam mimpi indah, mimpi basah, dan lain-lain
Malam itu aku melihat ratusan gelembung mimpi dengan keaneragaman aktivitasya
aku merasa sangat tidak beruntung malam itu, bagaimana tidak, untuk tidur yang berkualitas saja aku tak bisa, bagaimana bunga tidur? Malahan seringkali aku merasakan tidurku sangat cepat,selalu bangun secara terpaksa dan kadang-kadang aku menyertai kebangkitanku itu dengan umpatan.
Aku merasa dicurangi malam itu, oleh siapa? Aku tidak tahu.
Gelembung-gelembung mimpi orang-orang itu membuatku tertarik untuk mengamatinya
Orang yang pertama kali mimpinya aku amati adalah, sebut saja mawar (nama samaran) dia adalah tetanggaku, kurang lebih umurnya 23 tahun, dia adalah seorang mahasiswi. Dia adalah mantan pacarku, hubungan kami berakhir sekitar 4 tahun lalu. Sebenarnya aku masih sayang dengannya, tapi sepertinya dia sudah muak dengan segala ketidakmapanan hidupku. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengharapkannya lagi. Aku sdar diri.
Malam itu dia bermimpi sedang bergandengan tangan didalam mall dengan seorang anggota TNI berseragam lengkap. Didalam mimpinya dia terlihat begitu bahagia. Sesekali dia melirik diikuti senyum malu-malu manja kepada pasangannya. Begitu pula dengan pasangannya itu, sesekali dengan meyakinkan dia terlihat menawarkan mawar untuk memilih pakaian dan perhiasan. Aku tak kuasa untuk mengamati mimpi itu lebih jauh, dengan pertimbangan untuk kebaikan kondisi kejiwaanku, aku tak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya aku memutuskan utuk pergi mengamati mimpi-mimpi yang lainya.
Aku berpindah untuk mengamati sebuah gelembung mimpi yang dari jauh terlihat begitu atraktif. Aku berlari mendekati gelembung mimpi itu. Aku tidak mengenali siapa orang orang yang sedang bermimpi itu. Aku melihat dia tengah ketakutan, di menjerit-jerit seperti ada yang menyakitinya. Aku melihat wajahnya penuh luka, dia menangis tersedu-sedu dipojokan sebuah ruangan. Sepertinya dia sedang disiksa, dia merintih kesakitan. Aku terus menegadahkan kepalaku untuk terus menyimak gelempung mimpi itu. Tiba-tiba muncullah seorang denga perwakan kekar denag sebilah pedang menginjak kepalanya dan berkata dengan suara dingin “berikan semua hartamu atau aku akan menebas lehermu…” dan...ups, ternyata orang yang sedang bermimpi itu bangun dari mimpinya. Gelembung mimpi itupun pelan menghilang bersama nafasnya yang tersengal-sengal . aku melihat wajahnya sangat pucat dengan butiran keringan membasahi tubuhnya. Dia langsung mmeriksa kotak emas dan semua hartanya. Ia mendekapnya erat-erat dan berteriak “jangan ambil hartaku! Jangan ambil semua hartaku!” sampai akhirnya ia sadar sepenuh bahwa dia sedang bermimpi.
Aku tersenyum melihatnya. Dia begitu takut kehilangan hartanya. Yayaya aku mengangguk-anggukan kepala seolah paham dan berkata “bagus juga mimpimu kawan”.
Aku melangkah kembali menyusuri gang-gang yang mulai tidak aku kenali. Masih banyak gelembung-gelembung mimpi melyang-layang diatas rumah penduduk
Tidak ada seorangpun di jalan itu. Hanya aku seorang diri. Ini adalah hal yang menyenangkan. Aku dapat melihat apa yang sedang dimimpikan orang. Tapi tetap saja akulah satu-satunya orang yang tidak beruntung. Disaat orang-orang sedang bermimpi aku malah berkeliaran seperti ini. Huh..
Sebuah gekembung mimpi kembali mencuri perhatianku, didalam gelembung itu aku melihat suasana desa yang asri, masyarakatnya pun ramah tamah. Aku ingin tahu, siapa sih yang sedang bermimpi ini. Aku melihat seorang remaja berumur sekitar 22 tahun yang sedang tersenyum dalam tidurnya . Dikamarnya aku melihat laptop yang menyala dan banyak sekali buku-buku politik, poster-poster band-band seperti sex pistols, chumbawamba,dead kennedys dan banyak lainnya.
Aku kembali mengamati gelembung mimpinya. digapura desa itu tertulis “ selamat datang didesa sukasuka” semua masyarakatnya ramah, semua hidup dengan bahagia.
Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, tanah dan pabrik semua dimiliki bersama.
Semua hasil sumberdaya desa tersebut dinikmati bersama. Tidak ada aktivitas jual-beli,
masyarakatnya menjadikan simbiosis mutualisme sebagai dasar hidup mereka. Mereka benar-benar mandiri dan kreatif.aku melihat di desa itu samasekali berbeda dengan desa-desa yang pernah aku kunjungi. Aku senang mengamati mimpi remaja ini. Sampai-sampai aku duduk manis dipinggir jalan dan bersandarkan tong sampah. Aku terus mengikuti perjalanan mimpi pemuda itu…namun konsentrasiku pecah ketika seekor kucing berlari cepat didepanku kemudian dikuti suara gaduh gonggongan anjing. Pandangan mataku terarah pada sumber gonggong anjing itu dan kemudian seekor anjing besar hitam tanpa ekor dengan giginya yang menyeramkan keluar dari sebuah rumah besar sekitar 7 meter dari tempatku duduk. Anjing itu berlari kearahku dengan buas. Akupun meloncat bangkit dan mengambil langkah 500 ribu, tak sampai pada langkah yang ke seribu. Barisan gigi besar nan tajam itu menancap keras dipantatku. Akupun berteriak sejadi-jadinya! Ya allah pantatkuu!!!! Aku merasa mau pingsan,badanku terhuyung-huyung jatuh kebelakang. Bebarengan dengan itu aku merasa kepalaku terbentur sesuatu seketika aku tersentak dan membuka mataku. Nafasku berhembus tidak beraturan. Aku medapati tubuhku dilantai kepalaku terbentur tembok dan tulang ekorku nyeri karena terjatuh dari kursi rotan. ternyata aku hanya bermimpi. Syukurlah! Aku mencoba tenang sedikit untuk mengatur nafas.aku lihat jam dinding menunjukan pukul 7 padahal aku harus masuk kerja tepat pukul 7 pagi. Sial!!! Aku telat lagi!! Dengan tergesa-gesa beserta umpatan-umpatan aku bangkit dan bergegas menyiapkan diri untuk bekerja.
Aku kancingkan seragam kerjaku sambil mengumpat, aku pakai sepatu doctor matrin ku juga sambil mengumpat, aku kebut skuterku juga dengan mengumpat. Aku mengutuk diriku sendiri, aku mengutuk aktivitasku. aku benci pagi harii

Bekerja dan Menghujat

“Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di muka bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka yang mewarisi bumi.” (Q S. 28:5)

SEORANG yang sudah lama tertindas seringkali tidak akan kuat untuk melawan, terus menjadi lemah dan mati. Namun tidak bagi proletariat, pada saat mereka semakin kehilangan kemanusiaannya akibat eksploitasi kapitalis, kesadaran kelas mereka pun semakin terbentuk kokoh. Semangat juang mereka juga tak akan terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri untuk mati, mereka akan memberontak. Dominasi kapitalisme industri akan membawa buruh sebagai kelas menuju pada kesadaran massal akan eksistensinya untuk segera bersepakat dan mengorganisasikan diri ke dalam serikat-serikat buruh. Mereka akan sadar dengan sendirinya, di tengah persaingan para pemodal yang niscaya akan terus menekan upah dan imbalan kerja agar mereka dapat bertahan dalam arena kompetisi yang semakin meruncing, maka kaum buruh akan dibuat semakin melarat. Akhirnya, kaum buruh tidak dapat membeli lagi kebutuhan pokoknya serta segala yang mereka butuhkan untuk bisa bekerja. Mereka akan semakin sadar bahwa mereka merupakan satu kelas senasib sepenanggungan dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka. Mereka adalah kuli bangunan, tukang las, pekerja pabrik, pelaut, pegawai kantoran, petani garam, dan lain-lain, yaitu mereka-mereka yang terlibat langsung dalam aktivitas produksi kapitalis. Daya juang mereka semakin terlatih. Musuh mereka bukan lagi sang pemilik pabrik ataupun tuan tanah, melainkan kapitalis sebagai kelas. Borjuasi telah memproduksi penggali kuburnya sendiri. Inilah perang kelas. tapi, semua itu tidak dapat dengan mudah terbentuk. rupanya bedug perang kelas itu perlu ditunda sejenak, kenyataan dalam dunia kerja tidaklah se-revolusioener itu. saya melihat musuh kita bukan hanya kapitalis sebagai pemilik modal. melainkan kawan-kawan kita sendiri, seperti apa yang saya lihat, masih sangat banyak buruh-buruh disekitar kita yang merasa berkecukupan, terikat dengan begitu banyak tanggungjawab pribadi, mempunyai relasi yang cukup baik dengan atasan sehingga mereka menjadi malas, takut, atau bahkan sama sekali tidak bersepakat dengan segala bentuk perjuangan buruh. entah apa nama yang yang cocok untuk golongan seperti ini. mereka juga buruh upahan, mereka juga terlibat langsung dalam aktifitas produksi kapitalis, mereka juga korban, mereka juga luka-luka. tapi tidak pernah berusaha atau tidak tertarik untuk mengobatinya. permasalahan-permasalahan ini adalah sebuah alasan yang seharusnya mengapa serikat-serikat atau organisasi-organisai buruh yang semakin menjamur itu dibentuk.

Di sini saya hendak mencoba mengkritisi agenda-agenda serikat-serikat buruh di Indonesia yang pernah saya ketahui, dan mungkin memang begitu adanya, yaitu tentang terfokusnya agenda-agenda tersebut hanya pada bagaimana memperbaiki kondisi kerja, memperjuangkan upah layak, mendefinisikan dan mengurangi standar kerja mingguan, dan menghalangi para pengusaha untuk dapat memecat dan mempekerjakan buruh sesuka hati. Saya mulai ragu, karena serikat-serikat buruh di Indonesia dewasa ini, dalam perspektif sempit saya, hanya menjadi pawang kebuasan singa kapitalisme. mengapa begitu, Mereka hanya menjadi seperti wasit dalam pertandingan sepakbola, mereka tidak menjadi mitra juang buruh sebagaimana yang diharapkan. Mereka tidak menyelenggarakan ‘tempat didik’, dimana serikat-serikat buruh itu merubah proletariat menjadi kelas militan revolusioner, melainkan hanya bersikap netral dan menjaga komunikasi yang “saling menguntungkan” antar-kelas. Sungguh ironis, saya adalah mantan pekerja upahan di sebuah pabrik di Surabaya yang memproduksi velg mobil, dimana di dalamnya terdapat serikat buruh independen yang diharapkan menjadi malaikat Jibril bagi para pekerja, tapi kenyataannya " tanggal 1 Mei tetap masuk seperti biasa " Tidak ada hal spesial pada Hari Buruh se-Dunia yang punya sejarah dramatis itu. begitu juga para pekerja yang masih dalam masa training, selama 6 bulan mereka tidak mendapatkan gaji dan hanya mendapatkan uang makan sejumlah 50% dari uang makan pekerja tetap setiap harinya yaitu sebesar Rp. 5.000 dan tidak mudah untuk dapat mejadi pekerja tetap disana, mereka para pekerja training ini juga dibebani dengan kewajiban membayar sejumlah uang kepada perusahaan dengan alasan untuk melengkapi administrasi dan tetek bengeknya. Belum lagi banyak kejanggalan lainnya.

juga di tempat kerja pacar saya, di sebuah bank yang mengaku menerapkan sistem syari’ah Islam di Jakarta Barat. Pacar saya mengatakan bahwa di tempat kerjanya terdapat serikat buruh yang bernama Syarikat Pejuang. Dia juga mengatakan bahwa pihak manajemen bank itu menggunakan jasa outsourcing, dan pacar saya ikut berpartisipasi menjadi “produk jual-beli” mereka. Pernah dia dan beberapa temannya mencoba mengkomunikasikan kepada serikat buruh yang berwenang tentang uang tunjangan di luar gaji pokok yang telah dijanjikan oleh pemimpin bank tersebut namun tak kunjung keluar. Mereka meminta pengurus serikat (pejuang) buruh tersebut untuk mengusahakannya, tapi apa yang dikatakan oleh serikat (pejuang) buruh itu? “Anda adalah karyawan outsourcing, kami tidak memiliki wewenang atas karyawan outsourcing.” Tidak ada tawa atau kesedihan di wajah pacar saya dan temen-temannya itu. Yang ada hanya sebuah dilema: tetap bekerja di bank itu dengan segala kecurangan yang ada, atau pergi dengan mengganti uang penalti yang jumlahnya sangat tidak realistis.

Adalah kebencian yang mendalam akan eksistensi serikat-serikat buruh semacam ini; tidak ada organisasi ataupun lembaga yang mampu memperjuangkan kemerdekaan buruh seutuhnya. Mungkin inilah kritik paling mendasar para anarkis-individualis untuk membentangkan antipatinya terhadap segala macam organisasi ataupun lembaga yang mengatasnamakan keadilan sosial. Memang merupakan hal yang sangat sulit untuk membuat para kamerad anarkis-individualis kembali percaya bahwa tanpa perjuangan terorganisir, revolusi hanya akan menjadi sebuah kata tanpa makna. Bayangkan, 10.000 orang anarkis yang terorganisir dalam komite-komite pabrik berbasis swakelola di Rusia pasca-Revolusi Februari, gerakan Makhnovis di Ukraina dan pemberontakan Kronstadt dapat dengan mudah dihancurkan oleh para kontra-revolusi, hingga matinya gerakan anti-otoritarian pada 1920. Sejarah ini seharusnya dapat dijadikan pelajaran, pengalaman sangat pahit yang jangan sampai terulang kembali. Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk arah perjuangan yang selaras dalam sebuah organisasi yang akan memadukan aktivitas revolusioner efektif dengan prinsip-prinsip anarkis yang fundamental, misalnya dengan membentuk serikat-serikat pekerja yang menetapkan edukasi emansipasi buruh dalam agendanya, menempatkan beberapa aktivisnya di tempat-tempat produksi untuk merangsang diskusi pada jam-jam istirahat, dan berbagai aktivitas lainnya yang mendorong pencerahan kaum buruh.

Ringkasnya adalah wahana dimana proletariat dapat menemukan pencerahan setelah terjadi banyak kecurangan terhadapnya. Sebuah revolusi yang destruktif atas sistem lama yang kapitalistik, sebuah revolusi yang bermimpi untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat tanpa kelas, tatanan masyarakat dimana setiap individu ikut ambil bagian dalam kerja-kerja produktif untuk kebutuhan komunal, suatu masyarakat dimana semua orang bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan sesuai kebutuhan.